Revolusi Bisnis Online Anda termasuk orang yang pernah GAGAL berbisnis On-Line? Atau Anda berminat berbisnis On-Line tapi tidak tahu mulainya dari mana? Kini saatnya, kami perkenalkan cara baru berbisnis. Bisnis On-Line ini tidak mencari downline, bukan MLM. Rasakan REVOLUSI BISNIS KAMI.

Sunday, October 26, 2008

Posisi duduk masbuk dan hukum sholat di belakang ahlul bid’ah

Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah An-Nashihah pada edisi 1.

[001] Tanya :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, shalawat dan salam bagi Rasulullah dan keluarganya.

Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar sholat yang selama ini menjadi pertanyaan di benak saya, yaitu :

  1. Makmum masbuk, ketika Imam duduk tahiyat akhir sebelum salam, apakah posisi duduk makmum tersebut seperti posisi duduk tahiyat awal ataukah tetap mengikuti posisi duduk Imam?

  2. Bagaimanakah hukumnya menjadi makmum kepada Imam yang kita ketahui dengan jelas bahwa dia adalah ahlul bid'ah.

Demikianlah pertanyaan saya.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Abdullah Salaf


Jawab :

Adapun point pertama dari pertanyaan, jawabannya sebagai berikut :

Sholat ditinjau dari jumlah raka’atnya terbagi dua :

    1. Sholat dua raka’at seperti sholat Shubuh, rawatib dan lain-lainnya. Kalau sholat dua raka’at seperti ini, maka cara duduknya adalah duduk iftirasy, seperti duduk tasyahud awal dalam sholat lebih dari dua raka’at atau seperti duduk antara dua sujud yaitu kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Pertama : Hadits ‘Abdullah bin Zubair, beliau berkata :


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اليُسْرَى وَنَصَبَ اليُمْنَى وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى الْوُسْطَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَلْقَمَ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ


Adalah Rasulullah apabila beliau duduk dalam dua raka’at, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengah dan beliau berisyarat dengan telunjuknya dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan telapak tangan kirinya menggenggam lututnya”. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban -sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943- dengan sanad yang hasan.


Kedua : Hadits Wail bin Hujr :



وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَنَصَبَ أُصْبَعَهُ لِلدَّعَاءِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى


Dan apabila ia duduk dalam dua raka’at beliau membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan menegakkan jarinya untuk doa dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya …”. Dikeluarkan oleh An-Nasai 2/586-587 no.1158 dengan sanad yang shohih.


    1. Sholat lebih dari dua raka’at seperti sholat Maghrib, Isya, Dhuhur dan Ashar. Sholat seperti ini punya dua tasyahud yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir, maka dia duduk pada tasyahud awal dengan duduk iftirasy dan pada tasyahud akhir dengan duduk tawarruk yaitu menegakkan kaki kanan dan memasukkan kaki kiri di bawah paha dan betis kanan dan pantat sebelah kiri menyentuh langsung ke tempat duduk.


Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid As-Sa’idy yang mana beliau menceritakan sifat sholat Nabi di hadapan sepuluh orang shohabat dan mereka membenarkannya. Hadits Abu Humaid ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory no.794, beliau berkata :


فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُ خْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ


Dan apabila beliau duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan yang kanan. Kemudian apabila beliau duduk di raka’at terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lainnya dan beliau duduk di atas tempat duduknya”.


Rincian di atas merupakan pendapat Imam Ahmad sebagaimana dalam Masail Ibnu Hany hal.79, Al-Mughny 21/218 dan Majmu 3/430. Dan juga merupakan pendapat Ats-Tsaury, Ishaq dan Ashabu Ar-Ro’y.


Maka kalau seorang makmum masbuk pada sholat yang dua raka’at maka duduknya tiada lain kecuali duduk iftirasy .


Adapun kalau makmum ini masbuk dalam sholat yang lebih dari dua raka’at dan makmum yang masbuk mendapatkan Imam sudah duduk tasyahud terakhir, maka posisi makmum yang masbuk ini tidak lepas dari dua keadaan :

Pertama : Ia masbuk dua raka’at atau lebih.

Kedua : Ia masbuk satu raka’at.


Maka kalau makmum ini masbuk dua raka’at atau lebih maka duduknya adalah duduk iftirasy, sebab Rasulullah dalam hadits Malik bin Al-Huwairiz riwayat Al-Bukhory no.605 bersabda :


صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ


Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya sholat”.


Dan dari keterangan yang tersebut di atas Nabi pada dua raka’at duduknya adalah duduk iftirasy, berarti kalau ia mendapati Imam tasyahud terakhir dengan duduk tawarruk dan makmum ketinggalan dua raka’at atau lebih maka duduknya adalah duduk iftirasy tidak mengikuti Imam.


Adapun kalau makmum ini masbuk satu raka’at maka duduknya adalah duduk tawarruk sama dengan duduk Imamnya sebagaimana cara sholat Nabi dalam sholat yang lebih dari dua raka’at dalam keterangan yang telah disebutkan diatas. Wallahu A’lam.


Faidah :

Saya pernah mendengar Syaikhuna Al-‘Allamah Al-Muhaddits dari negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’y -rahimahullah- beliau berkata : “Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau seseorang masbuk dua raka’at kemudian ia mendapati Imam duduk tasyahud terakhir maka ia duduk tawarruk seperti duduknya Imam dengan dalil hadits Abu Hurairah Riwayat Bukhory-Muslim :


إِنَّمَا جُعِلَ الإِْ مَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ


Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti”.


Lalu Syaikh Muqbil berkata : “Tapi yang nampak bagi saya bahwa si masbuk ini tetap duduk iftirasy”.


Jelaslah bahwa apa yang dijelaskan di atas sesuai dengan fatwa Syaikh Muqbil ini. Hal tersebut disebabkan karena hadits : “Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti” adalah hadits yang umum sedangkan hadits Malik bin Al-Huwariz adalah hadits yang lebih khusus darinya. Maka hadits Malik lebih didahulukan. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.


Adapun point kedua dari pertanyaan, jawabannya sebagai berikut :

Mubtadi’ (Pelaku bid’ah) terbagi dua :

a. Mubtadi’ yang menyebabkan ia kafir sehingga dianggap keluar dari Islam.

Mubtadi’ seperti ini tidak sah sholat di belakangnya menurut kesepakatan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak ada perbedaan pendapat tentang hal tersebut maka jika sholat dibelakangnya, sholatnya batal harus diulang.


b. Mubtadi’ yang bid’ahnya tidak menyebabkan ia keluar dari Islam.

Sholat di belakang mubtadi’ seperti ini tidak lepas dari dua keadaan :

Keadaan yang pertama : Tidak ada masjid sholat jama’ah atau tidak ada tempat sholat jum’at atau sholat ‘Ied kecuali mesjid yang diimami oleh Mubtadi’ ini.

Dalam keadaan yang seperti ini, para ulama berselisih pendapat apakah sah sholat dibelakangnya atau tidak. Tapi pendapat yang rojih (kuat) dalam hal ini adalah sholat di belakang mubtadi’ dalam kondisi seperti ini adalah sah. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama (kebanyakan para ulama) seperti Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayat.

Banyak dalil yang menunjukkan kuatnya pendapat ini. Diantaranya :

  1. Hadits Abu Hurairah :


يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَؤُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ


Sesungguhnya Rasulullah bersabda : “Mereka sholat (mengimami kalian) kalau mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian, kalau mereka salah maka (pahalanya) untuk kalian dan (dosanya) atas mereka”. Hadits Riwayat Shohih Al-Bukhory no.294.


  1. Hadits Ibnu ‘Umar :


عَنْ سَالِمٍ قَالَ كَتَبَ عَبْدُ الْمَلِكِ إِلَى الْحَجَّاجِ أَنْ لاَ يُخَالِفُ ابْنَ عُمَرَ فِي الْحَجِّ فَجَاءَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَ عَرَفَةَ حِيْنَ زَالَتِ الْشَمْسُ فَصَاحَ سَرَادِقَ الْحَجَّاجِ فَخَرَجَ وَعَلَيْهِ مَلْحَفَةٌ مُعَصْفَرَةٌ فَقَالََ مَا لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالََ : الرَّوَاحَ إِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ السُّنَّةَ قَالَ هَذِهِ السَّاعَةُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَنْظِرْنِيْ حَتَّى أَفِيْضُ عَلَى رَأْسِي ثُمَّ أَخْرُجُ فَنَزَلَ حَتَّى خَرَجَ الْحَجَّاجُ فَسَارَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ أَبِيْ فَقُلْتُ إِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ السًّنَّةَ فَأَقْصِرِ الْخَطْبَةَ وَعَجِّلِ الْوُقُوْفَ فَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلَى عَبْدِ اللهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ عَبْدُ اللهِ قَالَ صَدَقَ


Dari Salim (bin ‘Abdillah bin ‘Umar-pent.) beliau berkata : “Abdul Malik1 menulis kepada Hajjaj 2 bahwa jangan menyelisihi Ibnu ‘Umar dalam haji, maka datang Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, dan saya bersama beliau pada hari Arafah tatkala matahari tergelincir maka ia pun berteriak di sisi kemah-kemah milik Al-Hajjaj maka keluarlah Hajjaj dan ia mengenakan mantel kuning lalu berkata : “Ada apa denganmu wahai Abu ‘Abdillah (kunyah Ibnu ‘Umar-pent)?”. Dia berkata : “Berangkatlah sekarang bila engkau menginginkan sunnah?”. (Hajjaj) berkata : “Inikah waktunya?”. (Ibnu ‘Umar) berkata : “Iya”. Maka Hajjaj berkata : “Tunggulah saya sampai saya membasahi kepalaku kemudian saya keluar”. Maka turunlah (Ibnu ‘Umar) sampai Hajjaj keluar lalu berjalan antara saya dan ayahku, maka saya berkata : “Apabila engkau menginginkan sunnah maka perpendeklah khutbah dan percepatlah wuquf”. Maka (Hajjaj) menoleh ke ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) maka tatkala ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) melihat hal tersebut beliau berkata : “Ia telah benar”. Hadits Riwayat Al-Bukhory no.1660.


Dan banyak hadits lain serta atsar dari para ulama salaf yang menunjukkan wajibnya sholat di belakang mubtadi’ bila tidak ada tempat sholat jama’ah atau sholat jum’at atau sholat ‘Ied kecuali di belakangnya.


Bahkan para ulama salaf seperti Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu ‘Abil ‘Izz dan lain-lainnya menyatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat di belakang mubtadi’ yang tidak ada tempat sholat jama’ah, sholat jum’at dan lain-lainnya kecuali di belakangnya, maka ia juga dianggap mubtadi’.


Keadaan yang kedua : Memungkinkan sholat dibelakang Imam Adil (bukan mubtadi’).

Seluruh para ulama sepakat akan makruhnya sholat di belakang mubtadi’ tersebut dan sunnah ia sholat di belakang Imam Adil ini, bahkan kadang menjadi wajib atasnya tidak sholat di belakang mubtadi’ dalam keadaan seperti ini bila ada pertimbangan maslahat dan mafsadat yang mengharuskan hal tersebut.


Banyak dalil yang menunjukkan makruhnya sholat di belakang mubtadi’ seperti ini.

Rasulullah bersabda dalam hadits Tsauban -radhiyallahu ‘anhu- :


إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَ ئَمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ


Yang paling saya takutkan atas ummatku adalah para Imam penyesat”. Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain


Kesimpulan :

  1. Tidak sah sholat di belakang mubtadi’ yang bid’ahnya menyebabkan ia kafir keluar dari Islam.

  2. Wajib sholat di belakang mubtadi’ kalau tidak ada tempat melaksanakan sholat jama’ah jum’at dan lain-lainnya kecuali di belakangnya.

  3. Makruh sholat di belakang mubtadi’ kalau ada Imam lain yang Adil (bukan mubtadi’). Wallahu A’lam Bisshowab.


Lihat : As-Siraj Al-Mubin Fi Ahkami Ash-Sholatil Jama’ah Wal Imam Wal Makmumin hal.224-228, Mauqif Ahlis Sunah Wal Jama’ah Min Ahlil Ahwa`i Wal Bid’ah 1/343-372 dan lain-lain.


1 ‘Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah bani Umayyah

2 Hajjaj bin Yusuf

This Article was published by An-Nashihah Magazine at its 1st edition

Template by : kendhin x-template.blogspot.com